1.1 Latar Belakang
Kayu jati memiliki kualitas tinggi, sehingga permintaan terus meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan mencapai 2,5 – 3 Juta m3/tahun oleh Perum Perhutani baru dipenuhi 250.000 - 300.000 m3/tahun (Trubus, 2001). Kayu jati sifat silvikulturnya secara umum telah dikuasai sehingga peluang penelitian dan pengembangannya dengan mudah dilakukan. Oleh karena itu banyak negara saat ini sedang meneliti dan mengembangkan jati, bahkan ada keinginan menjadikannya sebagai kayu Internasional (International wood) (Na’iem, 2001).
Di Indonesia produsen bibit menyikapi dengan menyediakan materi (bibit tanaman) dengan metode baru yaitu pembiakan vegetatif melalui kultur jaringan. Menurut Leksono (1998), jika dibandingkan dengan tanaman jati yang dikembangbiakan dari biji (jati lokal) hasil kultur jaringan mempunyai pertumbuhan yang lebih seragam (80 %), sedangkan jati asal biji tingkat keseragamannya hanya 20 %.
Daur pohon Jati hasil kultur jaringan lebih cepat (15 tahun siap panen) sedangkan asal biji perlu waktu di atas 40 tahun. Menurut PT. Monfori sebagai salah satu produsen bibit menyatakan pertumbuhan mencapai 6,5 cm per minggu. Pada umur 15 tahun diameter mencapai 40 cm sehingga sudah bisa dipanen.
Menurut Pandit (2000) ada hubungan kecepatan pertumbuhan dengan sifat-sifat kayu.Semakin dipacu pertumbuhannya, semakin berkurang kerapatan sel-selnya. Sel-sel akan mengembang sehingga dinding sel semakin tipis. Jika dianalogikan sebuah balon ditiup semakinbesar, dindingnya semakin tipis kemungkinan pecah semakin besar. Menurut Prayitno (1995), struktur anatomi merupakan salah satu indikator yang mempengaruhi kualitas kayu.
Kelompok indikator kualitas kayu adalah dimensi serat kayu yang meliputi panjang serat, diameter lumen, serta tebal dinding serat, irisan transversal yang dapat dipilahkan ke dalam persen komponen kayu seperti persen serabut, jari-jari, parenkim, saluran damar dan trakeid. Faktor-faktor irisan transversal kayu yang dirinci ke dalam porsi tipe sel penyusun kayu sangat berhubungan erat dengan sifat dasar kayu dan pembuburan kayu serta sifat permesinan kayu.
Dari uraian di atas, maka kami mengambil judul “Perbanyakan Bibit Tanaman Jati melalui Kultur Jaringan ” sebagai judul makalah ini.
1.2 Tujuan Penulisan
Ada pun tujuan penulisan makalah ini, yaitu untuk mengetahui dan memahami bagaimana cara perbanyakan bibi tanaman jati melalui kultur jaringan serta mengetahui manfaat dari perbanyakan bibit jati secara in vitro, yaitu dengan kultur jaringan.
2.1 Kultur Jaringan
Semakin berkembangnya teknologi pertanian penyediaan benih tidak hanya dapat diperoleh dari sumber benih, akan tetapi dapat dikembangkan dengan teknologi kultur jaringan.
Menurut BBPP Lembang (2008) yang dimaksud dengan kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam keadaan aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali.
Tujuan kegiatan kultur jaringan adalah perbanyakan masal tanaman yang biasanya sangat lambat dengan metoda konvensional dalam jumlah yang besar dalam waktu yang singkat, selain itu diperoleh tanaman yang bebas virus, membantu pemuliaan tanaman untuk mempercepat pencapaian tujuan penelitian pada tanaman yang biasa diperbanyak secara vegetatif.
2.2 Fisiologi Tanaman Jati
Jati (Tectona grandis L.f.) dikenal sebagai kayu komersial bermutu tinggi, termasuk dalam suku Verbenaceae. Daerah sebaran asli dari jati meliputi India, Myanmar dan Thailand.
Jati pertama kali ditanam di Indonesia (di Pulau Jawa) diperkirakan pada abad ke 2 Masehi, yang dilakukan oleh para penyebar agama Hindu. Saat ini jati telah dikenal secara luas dan dikembangkan oleh pemerintah, swasta, dan petani. Tanaman ini telah banyak dikembangkan, bahkan di beberapa tempat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan tradisional masyarakat.
Di Indonesia, tanaman jati secara khusus berpotensi meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, pedagang, dan industri pengolahan. Secara umum berperan dalam pembangunan daerah dan nasional. Kayu jati dan hasil olahannya memiliki wilayah pemasaran yang luas, di luar maupun di dalam negeri. Tanaman jati memiliki masa tebang yang panjang sehingga memiliki fungsi lingkungan dalam pengaturan tata air (hidrologi) dan iklim lokal.
Menurut Trubus (2001) kayu jati juga memiliki kualitas tinggi, sehingga permintaan terus meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan mencapai 2,5-3 juta m3 per tahun oleh Perum Perhutani baru dipenuhi 250.000-300.000 m3/tahun.
Kayu Jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu bahan baku industri perkayuan yang populer karena memiliki banyak kelebihan. Meskipun pada akhir-akhir ini kecenderungan penggunaan kayu lain sudah sangat meluas, namun kayu Jati masih merupakan pilihan utama terbukti dari kebutuhan kayu Jati, baik dalam maupun luar negeri yang terus meningkat (GTEI 2003).
Akan tetapi pasokan kayu Jati semakin lama semakin berkurang karena maraknya penjarahan, seperti yang terjadi di Kudus dan Pati pada tahun 1998 (Prayitno, 2003) serta di KPH Cepu selama Januari-Juli 2000 (Soedaryanto, 2000) dan juga akibat umur panen kayu Jati konvensional yang relatif panjang (minimal 45 tahun).
Jati menjadi tanaman yang sangat populer sebagai penghasil bahanbaku untuk industri perkayuan karena memiliki kualitas dan nilai jual yang sangat tinggi. Kekuatan dan keindahan seratnya merupakan faktor yangmenjadikan kayu jati sebagai pilihan utama.
Kebutuhan akan kayu jati selalu meningkat baik di dalam maupun luar negeri sedangkan populasi dan pasokannya semakin menipis karena siklus umur panen jati konvensional relatif lama (sekitar 45 tahun). Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukantanaman jati yang memiliki umur panen relatif cepat (genjah) dengan keindahan dan kualitas serat memadai yang dapat memenuhi kebutuhan pasar.
2.3 Mekanisme Kultur Jaringan pada Tanaman Jati
Menurut Sukmadjaja (2003) bahwa secara umum, produksi bibit melalui metode kultur jaringan memerlukan beberapa tahap, yaitu:
(1) penyediaan bahan tanaman (eksplan) dari induk terpilih,
(2) sterilisasi eksplan yang akan ditanam pada media inisiasi,
(3) penanaman pada media untuk penggandaan atau multiplikasi tunas,
(4) penanaman pada media untuk perakaran atau pembentukan planlet, dan
(5) aklimatisasi (Murashige, 1974; George dan Sherrington, 1984).
Pada metode perbanyakan untuk tanaman jati genjah, umumnya tidak dilakukan tahap multiplikasi tunas dan perakaran tetapi diganti menjadi tahap induksi tunas dan elongasi, sedangkan tahap perakaran dilakukan pada saat aklimatisasi.
Metode ini cukup sederhana dan mirip dengan cara perbanyakan dengan stek secara konvensional. Oleh karena itu, metode perbanyakan jatigenjah sering disebut secara stek mikro. Keuntungan penggunaan metode ini adalah tanaman yang dihasilkan stabil secara genetik.
2.3.1 Persiapan Bahan Tanaman
Salah satu kunci keberhasilan untuk mendapatkan bahan tanaman yang responsif dan dapat diperbanyak secara kultur in vitro adalah bahan tanaman yang masih muda. Untuk tanaman kehutanan atau tanaman tahunan lainnya daya tumbuh bahan yang akan ditanam sangat diperhatikan (Mariska dan Purnamaningsih, 2001).
Daya tumbuh tunas muda akan hilang secara fisik apabila jarak antara ujung tunas dan akar semakin jauh karena pertumbuhan (George dan Sherrington, 1984). Pada tanaman tahunandewasa, tunas muda yang memiliki daya tumbuh tinggi (juvenil) seringmuncul pada bagian tanaman yang dekat dengan tanah atau sering disebut tunas air.
Tunas juvenil dari tanaman berkayu tahunan dewasa yang akan digunakan sebagai bahan tanaman untuk kultur jaringan, juga dapat diperoleh dengan cara melakukan pemangkasan berat. Tunas yangmuncul setelah pemangkasan dapat digunakan sebagai bahan tanaman.
Selain itu, fase juvenil kadang-kadang dapat juga diinduksidengan cara melakukan penyemprotan tanaman dewasa dengan GA3 atau campuran antara auksin dan GA3 (George dan Sherrington, 1984).
Untuk memudahkan proses sterilisasi bahan tanaman, sangat dianjurkan bahwa tanaman induk berada atau ditanam di kamar kaca. Keberadaan tanaman induk di kamar kaca memudahkan perlakuan penyemprotan denganfungisida dan bakterisida secara periodik sehingga dapat mengurangi tingkat kontaminasi bahan tanaman yang akan disterilisasi.
2.3.2 Sterilisasi Bahan Tanaman dan Inisiasi Kultur Aseptik
Sterilisasi bahan tanaman (eksplan) merupakan langkah awal yangcukup penting dan dapat menentukan keberhasilan penanaman secara invitro. Eksplan yang akan ditanam pada media tumbuh harus bebas darimikroorganisme kontaminan.
Tahap sterilisasi sering menjadi kendala utama keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro. Terlebih iklim tropisseperti Indonesia yang memungkinkan kontaminan seperti cendawan dan bakteri terus tumbuh sepanjang tahun. Untuk tanaman tertentu, sterilisasisulit dilakukan karena kontaminan berada pada bagian internal dari jaringan tanaman.
Sterilisasi eksplan biasanya dilakukan dengan cara merendam bahan tanaman dalam larutan kimia sistemik pada konsentrasi dan waktu perendaman tertentu, baik dengan menggunakan satu macam maupun dengan macam-macam sterilan.
Bahan-bahan yang biasanya digunakan untuk sterilisasi antara lain alkohol, natrium hipoklorit (NaOCl), kalsium hipoklorit atau kaporit (CaOCl), sublimat (HgCl2), dan hidrogen peroksida (H2O2). Jenis bahan, konsentrasi, dan waktu yang diperlukan untuk sterilisasi bahantanaman secara umum disajikan pada Tabel 1.Eksplan yang telah disterilisasi harus segera ditanam secara in vitro.
Dari sekian banyak komposisi media yang telah berkembang, media dasar Murashige dan Skoog (MS) (Tabel 2) merupakan media dasar yang paling banyak digunakan, baik untuk tanaman herba maupun berkayu. Pada tahap induksi tunas tanaman jati, media MS merupakan media dasar yangpaling banyak digunakan, selain itu modifikasi media MS juga banyak digunakan.
Penambahan zat pengatur tumbuh pada media kultur merupakan kunci keberhasilan baik pada tahap induksi maupun elongasi tunas. Umumnya media yang digunakan pada tahap induksi tunas jati adalah media MS yang ditambah zat pengatur tumbuh golongan sitokinin sepertibenzylaminopurine (BAP) atau furfurylaminopurine (kinetin) atau kombinasi keduanya dengan konsentrasi antara 0,1-1 mg/l.
Gupta et al. (1980) menggunakan media dasar MS ditambah kinetin 0,1 mg/l dan BAP 0,1 mg/l untuk menginduksi tunas adventif dari eksplan tanaman jati berupa tunas ujung dan batang satu buku. Media kultur dibuat padat dengan penambahan 8 g/lagar dan 20 g/l gula serta pH media 5,8.
Eksplan yang digunakan pada tahapinduksi dapat berupa tunas apikal atau tunas adventif yang berasal dari batang satu buku dengan ukuran 1-2 cm. Indikasi lain pada tahap induksi tunas yang dapat mempengaruhi kecepatan pertumbuhan pada tahap selanjutnya (tahap elongasi) adalah terbentuknya kalus kompak pada bagian dasar batang eksplan.
Umur biakan pada tahap induksi tunas sekitar 3 minggu. Pada umur tersebut biakan sudah berada pada kondisi yang optimal untuk dipindahkan pada tahap elongasi.
Pada tahap elongasi atau pemanjangan tunas, biakan ditanam pada media dasar MS tanpa penambahan zat pengatur tumbuh atau dapat ditambahkan sitokinin dengan konsentrasi yang sangat rendah (0,01-0,05 mg/l) bahkan jika perlu dapat ditambah asam giberelik (GA3) dengan konsentrasi 0,1-1 mg/l untuk tujuan pemanjangan buku tanaman.
Penambahan gula agar dan pH media sama seperti pada media untuk induksi tunas. Umuryang diperlukan pada tahap elongasi tunas hingga siap untuk dipanen atau digunakan untuk ditransfer kembali pada media induksi berkisar antara 2-4 minggu.
Pada umur 3 minggu tunas dapat mencapai tinggi 5-8 cm dengan jumlah buku antara 3-5 dan siap untuk diaklimatisasi. Biakan biasanya disimpan pada kondisi ruangan suhu 25±2oC dengan periodeterang (1000-3000 lux) selama 16 jam per hari.
2.3.3 Aklimatisasi
Aklimatisasi dapat didefinisikan sebagai proses penyesuaian suatu organisme untuk beradaptasi pada lingkungan yang baru. Proses aklimatisasisangat penting karena akan menentukan apakah tanaman yang berasal dari in vitro dapat beradaptasi atau tidak pada kondisi in vivo.
Umumnyabiakan hasil kultur jaringan yang akan diaklimatisasi harus berupa planlet artinya biakan harus mempunyai perakaran dan pertunasan yang proporsional.Akan tetapi pada perbanyakan tanaman jati melalui kultur jaringan, biakan yang akan diaklimatisasi berupa biakan tanpa akar (stek mikro).
Induksi perakaran dilakukan pada saat aklimatisasi dengan terlebih dahulu merendam atau mencelupkan bagian dasar batang dalam larutan yang mengandung senyawa auksin seperti IBA dan NAA atau dengan Rooton F.Biakan yang berasal dari tahap elongasi yang akan diaklimatisasi dan diinduksi perakarannya harus terlebih dahulu dibuang bagian kalusnya dan dibersihkan pada air mengalir.
Harus diperhatikan pula bahwa dalam prosesaklimatisasi tunas jati memerlukan kelembaban yang cukup dan media tumbuh tidak terlalu basah. Media tumbuh yang digunakan dapat berupa campurantanah+arang sekam (1:1) atau tanah+serbuk sabut kelapa (1:1)atau tanah+kompos halus (1:1).
Media sebaiknya disterilisasi dahulu dengan pemanasan dan tekanan uap. Media yang telah disterilisasi dapatdiletakkan dalam bak plastik atau bak semen yang ada di kamar kaca. Untuk menjaga kelembaban dilakukan penyungkupan dengan plastik, sedangkanuntuk mempercepat pertumbuhan bibit, penyemprotan dengan pupuk daunseperti Hyponex, Bayfolan, dan Gandasil sangat dianjurkan pada umur 1 minggu satelah tanam. Aklimatisasi bibit jati di pesemaian.
Umur bibit tanaman jati genjah hasil kultur jaringan yang cukup baik untuk dipindahkan ke lapang (bibit siap salur) berumur sekitar 3 bulan. Pada umur tersebut bibit jati genjah dapat mencapai tinggi sekitar 30-50 cm. Tanaman jati hasil kultur jaringan setelah umur 6 bulan disajikanpada, sedangkan diagram tahap-tahap perbanyakan tanaman jati melalui kultur jaringan.
2.3.4 Bibit Siap Tanam
Diameter batang dan tinggi bibit tidak bisa dijadikan acuan untuk menentukan kualitas bibit. Ciri bibit yang berkualitas baik dan siap tanam adalah:
1. Media sarang dan akarnya kuat mengikat media. Ciri-cirinya adalah jika bibit dicabut dari polibag maka media dan akar akan membentuk gumpalan yang utuh namun berpori/tidak keras padat.
2. Batang tunggal, kokoh, dan sudah berkayu. Bibit tumbuh tegak, antara diameter dan tinggi tampak seimbang.
3. Pucuk sehat, daun segar, dan tidak terserang hama atau penyakit.
2.4 Estimasi Produksi Bibit
Berdasarkan jumlah buku yang dapat dijadikan sebagai faktor penggandaan atau multiplikasi yang dihasilkan dari setiap periode subkultur, banyaknya tanaman jati yang dapat dihasilkan pada satuan waktu tertentu dapat diprediksi.
Dengan mempertimbangkan beberapa faktor lain yang dapat menyebabkan kehilangan/ kerusakan selama proses perbanyakan dilaboratorium dan kamar kaca. Pennell (1987) memberikan formulasi untuk menghitung potensi jumlah tanaman yang dapat dihasilkan secara teoritisdalam satu periode (satu tahun), dengan rumus sebagai berikut:
y = An x B x F1 x F2 x F3
Keterangan:
y = jumlah planlet/tanaman yang dapat dihasilkan
A = jumlah tunas yang dihasilkan pada setiap periode subkultur (faktor multiplikasi)
B = jumlah eksplan awal yang tumbuh
n = jumlah subkultur pada periode tertentu (per tahun)
F1 = persentase keberhasilan kultur pada tahap induksi tunas
F2 = persentase keberhasilan kultur pada tahap elongasi tunas
F3 = persentase keberhasilan aklimatisasi
Sebagai contoh, suatu laboratorium kultur jaringan memulai kegiatan perbanyakan tanaman jati genjah dengan hanya satu eksplan awal berupa tunas yang sudah steril dan responsif (B), dengan asumsi jumlah buku yang dapat di subkultur sebanyak 3 (A), frekuensi subkultur 8 kali per tahun (n),80% keberhasilan pada tahap induksi tunas (F1), 90% keberhasilan pada tahap elongasi (F2), dan 80% keberhasilan pada tahap aklimatisasi (F3), maka jumlah tanaman yang dapat diproduksi per tahun (y) adalah 38 x 1 x 0,8 x 0,9 x 0,8 = 3779 tanaman.
Apabila eksplan awal (B) yang dapat disediakan sebanyak 10 makajumlah tanaman yang dapat dihasilkan sekitar 37.790 tanaman, jika eksplan awal 100 maka jumlah tanaman yang dapat dihasilkan 377.900, dan seterusnya.
Jumlah tanaman yang dihasilkan merupakan perhitungan teoritis, pada pelaksanaannya akan sangat tergantung kepada beberapa faktor pendukung lain yang berkaitan dan sangat menentukan seperti jumlah tenaga kerja dan fasilitas yang tersedia.
George dan Sherrington (1984) mengemukakan bahwa dengan menanam 90-100 tunas/orang/jam maka untuk memproduksi 1 juta tanaman dalam waktu serentak diperlukan beberapa ratus orang pekerja, yang tentunya akan memerlukan sarana laboratorium yang sangat besar.